Produk yang Tidak Wajib Sertifikat Halal: Aturan Terbaru BPJPH

Table of Contents

Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia menjadikan sertifikasi halal sebagai aspek penting dalam perdagangan. Melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), pemerintah mewajibkan produk yang beredar di pasar memiliki sertifikat halal. Kewajiban ini dilaksanakan secara bertahap sejak 17 Oktober 2019 dengan pengawasan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama.

Namun, aturan tersebut juga memberikan pengecualian. Tidak semua produk wajib memiliki sertifikat halal. Beberapa produk secara alami sudah jelas status hukumnya, ada pula yang tidak ditujukan untuk konsumsi sehingga dikecualikan dari kewajiban ini.

Dasar Hukum Produk yang Dikecualikan

  1. UU No. 33 Tahun 2014 (UU JPH) → mengatur kewajiban sertifikasi halal bagi produk makanan, minuman, obat, kosmetik, dan barang gunaan tertentu.

  2. PP No. 39 Tahun 2021 → menegaskan tata cara penyelenggaraan jaminan produk halal, termasuk pengecualian.

  3. KMA No. 1360 Tahun 2021 → berisi daftar resmi produk dan bahan yang tidak wajib bersertifikat halal.

Dengan dasar hukum ini, produsen dan konsumen memiliki kepastian mengenai produk yang termasuk kategori wajib dan tidak wajib halal.

Kategori Produk yang Tidak Wajib Sertifikat Halal

1. Produk Non-Konsumsi

Produk yang tidak dikonsumsi manusia secara langsung tidak memerlukan sertifikat halal.
Contoh: cat tembok, tinta printer, pupuk, pelumas mesin, kosmetik dekoratif non-konsumsi (misalnya cat kuku).

2. Bahan Alami yang Tidak Diolah

Produk alami yang diambil langsung dari alam tanpa proses pengolahan atau tambahan bahan lain dianggap halal secara asal.
Contoh: buah segar, sayuran segar, beras, gandum, jagung, ikan segar, air tawar, dan air laut.

3. Produk Tambang dan Mineral

Hasil tambang atau mineral murni yang tidak terkait pangan termasuk kategori dikecualikan.
Contoh: garam, batu bara, minyak bumi mentah, emas, perak, pasir, hingga gas alam.

4. Bahan Kimia Sintetis atau Hasil Rekayasa

Bahan kimia yang diproduksi melalui proses sintesis atau penambangan dengan komposisi murni, serta tidak bersentuhan dengan unsur najis, tidak wajib disertifikasi.
Contoh: asam asetat, etanol sintetis, amonia, asam sitrat, soda api.

5. Produk dengan Status Haram yang Jelas

Produk haram tidak perlu sertifikat halal karena statusnya sudah final dalam syariat Islam. Meski begitu, produsen wajib mencantumkan label “Tidak Halal” secara jelas.
Contoh: daging babi, sosis babi, lemak babi, dan minuman beralkohol.

6. Produk dalam Kondisi Darurat

Produk tertentu, khususnya obat dan vaksin, bisa digunakan dalam keadaan darurat walaupun mengandung bahan yang statusnya belum halal.
Contoh: obat kapsul dengan gelatin non-halal jika tidak ada alternatif lain, vaksin tertentu dalam program kesehatan.

7. Produk Impor untuk Kebutuhan Pribadi

Produk yang dibawa masuk ke Indonesia dalam jumlah kecil untuk konsumsi pribadi, bukan untuk dijual, tidak diwajibkan bersertifikat.
Contoh: makanan ringan dari luar negeri untuk oleh-oleh, kosmetik pribadi, suplemen kesehatan untuk konsumsi sendiri.

8. Produk dengan Regulasi Khusus

Beberapa produk mendapat pengecualian karena pertimbangan kebijakan pemerintah, terutama untuk mendukung pelaku usaha kecil.
Contoh: produk UMKM dengan omzet tertentu yang masih mendapat kelonggaran, atau bahan penolong industri yang tidak langsung dikonsumsi.

Alasan Pengecualian Sertifikasi Halal

Ada beberapa pertimbangan mengapa produk di atas tidak diwajibkan bersertifikat halal:

  • Tidak melalui proses pengolahan → sayuran, buah, dan air segar.

  • Status hukum sudah jelas → produk haram seperti babi dan alkohol tidak perlu sertifikat, tetapi wajib diberi label “Tidak Halal”.

  • Tidak ditujukan untuk konsumsi → cat, pupuk, pelumas, dan tinta printer.

  • Kondisi darurat → obat atau vaksin yang digunakan untuk keselamatan jiwa.

  • Konsumsi terbatas → produk impor untuk kebutuhan pribadi, bukan untuk peredaran luas.

Catatan Penting Bagi Produsen dan Konsumen

  • Risiko Kontaminasi
    Produk yang secara asal halal tetap harus diperhatikan proses produksinya agar tidak terkontaminasi bahan haram.

  • Label “Tidak Halal”
    Produsen wajib memberikan keterangan jelas pada kemasan produk berbahan haram. Tanda bisa berupa tulisan, simbol, atau gambar.

  • Sertifikasi Sukarela
    Walaupun tidak diwajibkan, pelaku usaha bisa mengajukan sertifikat halal secara sukarela untuk meningkatkan kepercayaan konsumen.

  • Tahapan Kewajiban Sertifikasi
    Produk makanan dan minuman wajib halal penuh per Oktober 2024, sementara kosmetik dan obat-obatan masih dalam masa transisi hingga 2026.

Catatan kecil: Untuk daftar resmi produk dan bahan yang dikecualikan, publik bisa merujuk pada lampiran KMA No. 1360 Tahun 2021 di situs BPJPH halal.go.id

Posting Komentar