Ekspor Sarang Burung Walet Kotor Dilarang Sejak 2020: Regulasi, Dampak, dan Arah Industri Nasional

Table of Contents

Pentingnya Industri Sarang Burung Walet Bagi Indonesia

Sarang burung walet (SBW) merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia yang bernilai tinggi di pasar global. Sebelum tahun 2020, nilai ekspor SBW Indonesia bisa mencapai lebih dari Rp 7 triliun per tahun, dengan tujuan utama Tiongkok, Hong Kong, dan Singapura.
Namun, sebagian besar ekspor saat itu masih dalam bentuk sarang mentah atau kotor (raw uncleaned)—yakni sarang yang belum dibersihkan dari bulu, kotoran, dan kotoran kimiawi seperti nitrit.

Kondisi ini menimbulkan dua persoalan: rendahnya nilai tambah di dalam negeri dan meningkatnya risiko penolakan di negara tujuan ekspor karena standar kebersihan yang tidak terpenuhi. Pemerintah pun kemudian mengambil langkah tegas.

Dasar Hukum dan Isi Regulasi Larangan Ekspor

Larangan ekspor SBW kotor mulai berlaku sejak tahun 2020, setelah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 Tahun 2020 tentang Tindakan Karantina Hewan terhadap Pemasukan dan Pengeluaran Media Pembawa Penyakit Hewan Lainnya.
Kebijakan ini diperkuat melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 27 Tahun 2020, yang efektif berlaku 1 Januari 2021, serta disempurnakan kembali oleh Permendag No. 8 Tahun 2024.

Melalui aturan tersebut, pemerintah melarang total ekspor SBW dalam kondisi kotor. Hanya sarang burung walet yang telah melalui proses pencucian dan pengolahan minimal 70 persen yang diperbolehkan untuk diekspor.
Klasifikasi ekspor pun dibedakan jelas:

  • HS Code 0410.00.10: SBW mentah/kotor – dilarang diekspor

  • HS Code 0410.00.90: SBW bersih/olahan – diperbolehkan diekspor

Standar kebersihan SBW yang diizinkan ekspor mencakup: kadar air maksimal 15 persen, bebas bulu, bebas kotoran, dan kadar nitrit di bawah 30 ppm. Setiap produk wajib disertai sertifikat kesehatan hewan, sertifikat sanitasi dari Barantin, serta izin ekspor dari Kementerian Perdagangan.

Alasan Strategis di Balik Larangan Ekspor SBW Kotor

Langkah pemerintah ini bukan semata-mata soal larangan, melainkan strategi jangka panjang untuk memperkuat industri nasional. Ada tiga alasan utama di balik kebijakan tersebut:

  1. Mendorong Hilirisasi dan Nilai Tambah Domestik
    Selama bertahun-tahun Indonesia hanya mengekspor SBW mentah, sementara negara tujuan—terutama Tiongkok—mengolahnya kembali menjadi produk bernilai tinggi seperti sup, kosmetik, dan suplemen. Larangan ekspor kotor memaksa industri lokal untuk membangun fasilitas pencucian dan pengolahan sendiri, sehingga nilai tambah dan lapangan kerja tercipta di dalam negeri.

  2. Menjamin Standar Keamanan dan Kualitas Produk
    Tiongkok, sebagai importir terbesar SBW Indonesia, menetapkan standar yang sangat ketat. Produk harus higienis, bebas bahan kimia, dan memiliki traceability jelas. Tanpa pemenuhan standar ini, izin masuk ke pasar Tiongkok bisa dicabut.

  3. Menegakkan Reputasi dan Kedaulatan Ekspor Indonesia
    Dengan melarang ekspor sarang mentah, pemerintah ingin menegakkan reputasi Indonesia sebagai produsen SBW berkualitas premium, bukan pemasok bahan mentah yang rawan pelanggaran karantina.

Dampak Kebijakan Terhadap Pelaku Industri

Kebijakan larangan ekspor SBW kotor memberi efek berlapis bagi ekosistem industri walet, baik positif maupun menantang.

Dampak Positif:

  • Munculnya industri pencucian dan pengolahan SBW di berbagai daerah seperti Kalimantan, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan.

  • Peningkatan lapangan kerja di sektor pengolahan, pengepakan, dan logistik ekspor.

  • Kenaikan harga produk bersih, karena sarang yang lolos standar ekspor bernilai dua hingga tiga kali lipat lebih tinggi daripada sarang mentah.

Dampak Negatif dan Tantangan Awal:

  • Banyak peternak kecil kesulitan beradaptasi. Mereka selama ini menjual sarang mentah ke pengepul, namun kini harus bergantung pada pengolah berizin.

  • Proses sertifikasi, pengujian nitrit, dan perizinan ekspor membutuhkan biaya serta pengetahuan teknis yang tidak semua pelaku kecil miliki.

  • Terjadi penumpukan stok SBW mentah di beberapa daerah selama masa transisi awal kebijakan, sebelum industri pengolahan lokal berkembang.

Di sisi lain, masih ditemukan praktik ekspor ilegal SBW kotor. Barantin bersama Bea Cukai pada November 2025 menggagalkan pengiriman sekitar 950 kg SBW kotor tujuan Vietnam, menunjukkan bahwa masih ada celah penyelundupan yang perlu diawasi ketat.

Reaksi Pasar dan Negara Tujuan Ekspor

Negara tujuan utama ekspor seperti Tiongkok menyambut positif kebijakan ini karena menjamin konsistensi mutu. Pemerintah Tiongkok sejak 2013 hanya mengizinkan impor dari fasilitas pengolahan SBW yang tersertifikasi oleh General Administration of Customs China (GACC).
Sampai akhir 2025, tercatat hampir 30 fasilitas pengolahan SBW Indonesia telah lolos sertifikasi GACC—naik signifikan dibanding hanya 6 fasilitas pada 2020.

Kenaikan ini menandakan bahwa Indonesia kini tidak lagi sekadar penyuplai bahan mentah, melainkan mulai bersaing dalam produk akhir yang siap konsumsi.

Tantangan dan Arah Pengembangan ke Depan

Kebijakan larangan ekspor kotor hanyalah langkah awal. Tantangan terbesar kini terletak pada penguatan sistem pengawasan, standardisasi, dan pemerataan akses bagi pelaku kecil.

  1. Peningkatan Kapasitas Pengolahan
    Pemerintah mendorong agar setiap sentra produksi SBW memiliki mini processing center yang memenuhi standar HACCP dan GMP.

  2. Digitalisasi dan Traceability
    Sistem pelacakan asal sarang (traceability system) tengah dikembangkan oleh Kementan dan Kementerian Perdagangan, agar setiap sarang dapat ditelusuri hingga ke rumah waletnya.

  3. Pemberantasan Ekspor Ilegal
    Kolaborasi antar-lembaga seperti Barantin, Bea Cukai, dan Polri diperkuat. Setiap eksportir ilegal yang tertangkap dapat dijerat pasal pidana sesuai UU Perdagangan No. 7 Tahun 2014, dengan ancaman denda hingga Rp 5 miliar dan pencabutan izin usaha.

  4. Peluang Ekonomi Baru
    Dengan meningkatnya fasilitas pengolahan, SBW kini juga dikembangkan menjadi produk turunan bernilai tinggi seperti minuman kesehatan, kapsul suplemen, hingga bahan kosmetik. Beberapa perusahaan lokal bahkan telah menembus pasar Jepang dan Korea Selatan dengan produk berbasis ekstrak walet.

Kolaborasi untuk Meningkatkan Daya Saing

Keberhasilan kebijakan ini bergantung pada sinergi antara pemerintah, pengusaha, dan peternak. Peternak harus didorong agar menjual sarang kepada pengolah resmi; pengolah perlu memastikan standar ekspor terpenuhi; sementara pemerintah wajib menyediakan pendampingan dan insentif.

Upaya bersama ini akan menentukan masa depan industri sarang burung walet Indonesia. Bukan hanya sekadar komoditas ekspor, tetapi juga simbol kualitas dan kemandirian industri nasional di pasar global.

Posting Komentar